Lilypie Expecting a baby Ticker

Sunday, March 11, 2007

Ketika Cinta Bertasbih


foto buku dari inibuku.com

Satu lagi karya Kang Abik.


Sampai di halaman 80an, saya merasa seperti mengulang membaca Pudarnya Pesona Cleopatra. Karena sama-sama menceritakan tentang seorang pemuda yg mendambakan istri yg cantik, lalu bertemu dengan seorang bijak dengan pengalaman menikahi wanita cantik yg tidak sholehah. Pesan yg ingin disampaikan sampai di sini pun masih sama, jangan mencari istri yg sekedar cantik, tapi carilah istri sholehah.

Cerita ini pun sempat terealisasi dalam pengalaman hidup seorang teman, yg dulu mencari wanita cantik pujaan hati, tapi melupakan kadar kesholehannya, sehingga kini ia bingung, "Kenapa ya dulu aku memilihnya?" ketika bentrokan tak habis-habisnya datang silih berganti.

Cerita ini ingin sekali aku bacakan untuk seorang teman, yg setelah sekian lama hidup dalam gelimangan ilmu agama yg lurus, kemudian berbelok sedikit setelah menemukan wanita cantik...

Walaupun saya belum selesai membacanya, karena harus mencuri waktu diantara kekangenan dengan anak dan suami tercinta, tapi saya kira buku ini bagus, begitu juga prolog yg disajikan di depan, sebelum cerita dimulai...

Thursday, March 08, 2007

The Tipping Point

Ketika menunggu waktunya pulang bersama suami kemarin malam, di ruang redaksi majalahnya, saya menemukan sesuatu yg menarik dari buku The Tipping Point karangan Malcolm Gladwell. Buku itu pada intinya bercerita tentang epidemi yg membawa perubahan (yg diharapkan tentunya perubahan positif) melalui suatu titik saat di mana tercapainya masa kritis, ambang batas, atau titik pergolakan (tipping point) melalui tiga unsur, yaitu hukum tentang yg sedikit (the law of the few), faktor kelekatan (the stickness factor) dan kekuatan konteks (the power of context). Ada cerita bagaimana Sesame Street atau Blue's Clue bisa sukses, atau seorang pengarang tak dikenal membuat buku yg menjadi best seller, atau bagaimana Transit Authority New York berhasil mengatasi kenakalan para penumpang kereta api bawah tanah di daerah itu.

Sampai di sini, saya tertarik dengan bagaimana "polisi kereta" di buku itu diceritakan berhasil mengurangi tingkat kejahatan di dalam kereta, dimulai dengan memberantas para "penumpang gelap" yg naik kereta tanpa karcis, mulai dari mengakali mesin penjual karcis sampai pintu masuknya.

Yang jelas, "polisi kereta" itu tidak setengah-setengah menangani para penumpang gelap di kereta. Kepala polisi kereta menurunkan sejumlah besar pasukan untuk berjaga di pintu masuk stasiun, memeriksa mereka yg masuk (tapi mungkin di NY gak kaya di Indo ya, banyak jalan menuju kereta gratis, setjara banyak jalan tikus, bolongan di pagar pembatas stasiun, dll), dan benar-benar menahan (bahkan sampai diborgol! Gile) mereka yg kedapatan tidak membawa karcis, atau malah membawa senjata tajam! (uuuh seraaam...). Mereka yg tertangkap itu juga harus mengisi berita acara di kantor polisi! Alhasil tingkat kejahatan menurun, dan penumpang yg naik berkarcis.

Mungkin KAI perlu mencontoh ya. Setidaknya menyediakan "jumlah pasukan" yg memadai untuk mencegat segambreng penumpang kereta tak berkarcis (terutama yg naik ekonomi, apalagi yg naik ekspress), dan benar-benar menahan mereka sampai mereka membeli karcis. Karena yg terjadi sekarang ini, pemeriksaan karcis sekenanya, kalo dapet ya nasib lo, kalo gak dapet ya sudahlah. Belum lagi kalo yg gak beli karcis itu teman, sahabat, saudara, kerabat, dan derivatnya.

Ada juga cerita bagaimana seorang penulis tidak terkenal tiba-tiba bukunya menjadi bestseller...

Hmmm... asik lho bukunya buat dibaca, terutama bagi mereka yg sedang mencari pencerahan untuk buka bisnis baru seperti saya ini...