Lilypie Expecting a baby Ticker

Thursday, May 24, 2007

Edensor









Bentang Pustaka
(Gambarnya diambil dari Inibuku.com)

Tulisan di belakang covernya seperti ini :
Aku ingin mendaki puncak tantangan, menerjang batu granit kesulitan, menggoda mara bahaya, dan memecahkan misteri dengan sains. Aku ingin menghirup berupa-rupa pengalaman lalu terjun bebas menyelami labirin lika-liku hidup yang ujungnya tak dapat disangka. Aku mendamba kehidupan dengan kemungkinan-kemungkinan yang bereaksi satu sama lain seperti benturan molekul uranium: meletup tak terduga-duga, menyerap, mengikat, mengganda, berkembang, terurai, dan berpencar ke arah yang mengejutkan. Aku ingin ke tempat-tempat yang jauh, menjumpai beragam bahasa dan orang-orang asing. Aku ingin berkelana, menemukan arahku dengan membaca bintang gemintang. Aku ingin mengarungi padang dan gurun-gurun, ingin melepuh terbakar matahari, limbung dihantam angin, dan menciut dicengkeram dingin. Aku ingin kehidupan yang menggetarkan, penuh dengan penaklukan. Aku ingin hidup! Ingin merasakan sari pati hidup!

Edensor adalah novel ketiga dari rangkaian tetralogi Laskar Pelangi. Ceritanya tentang masa "kuliah kedua" Ikal dan Arai (Ray and Curly... hihihi) di Sobborn, Perancis. Banyak hal baru yg mereka temui di sana. Pengalaman pertama adalah masalah birokrasi, kemudian cuaca dingin, lalu teman-teman unik dari berbagai negara dengan tingkat kepintaran beragam, cara baru mencari uang dan berkeliling Eropa sampai Afrika.

Banyak cerita yg membuat kita terharu, terbahak (misalnya dengan karma yg diterima Arai akibat kenakalan masa kecilnya), dan berdecak kagum. Ceritanya masih mengusung semangat mengejar mimpi yg menjadi kenyataan, dengan kerja keras, usaha kuat, dan iman (walaupun tidak berbau novel religius).

Satu ungkapan dalam bahasa Perancis mengingatkan saya pada novel Mallory Towers dan Saintn Claire, "Tres Bien", bagus sekali. Kata-kata yg sering digunakan oleh guru bahasa Perancis yg mengajar di kedua sekolah Inggris tersebut.

Walaupun saya agak bingung dengan time table novel ini, karena di satu sisi mengangkat kehidupan Belitong yg sepertinya terjadi berpuluh tahun lalu, di sisi lain mengidentikan dengan The Pirates of Carribean dan Anggun C Sasmi, tapi novel ini benar-benar menyenangkan untuk dibaca.



Wednesday, May 23, 2007

Hafalan Sholat Delisa











Tere Liye
Penerbit Republika


Saya membaca buku ini sambil menunggu kereta Pakuan di Gambir, dan selama perjalanan Gambir-Bogor, selama 2 hari. Dan ketika membacanya, saya harus berulang kali mendongakan kepala, menahan agar air mata tidak jatuh, dan mempermalukan diri sendiri karena diperhatikan orang segerbong.

Ceritanya benar-benar menyentuh. Mengingatkan saya betapa tidak ikhlasnya saya beribadah kepada Alloh, bila dibandingkan Delisa, anak umur 6 tahun, penduduk Lhok Nga. Dan cerita ini juga mengingatkan saya, bahwa sebagai seorang ibu, sayalah yg harus mendidik anak-anak saya, tentang agama, dan bagaimana mengendalikan mereka tetap dalam koridor aturan Alloh, selama mereka menjadi tanggung jawab saya.

Penanaman iman sejak dini, saya tangkap dari kebiasaan yg diterapkan ibu Delisa, Bu Salamah, istri dari Pak Salman. Walaupun suaminya hanya pulang tiga bulan sekali, tapi Salamah berhasil menanamkan kebiasaan beribadah pada keempat anaknya, Fatimah - si sulung, Aisyah dan Zahra - si kembar, dan Delisa si bungsu. Bangun pagi untuk sholat subuh berjamaah (wahai, seberapa sering engkau membangunkan seisi rumah untuk beribadah kepada Alloh bersama-sama?), kemudian mengajarkan Al-Qur'an pada anak-anak(wahai, sudah berapa usia mereka sekarang, sedangkan membaca Qur'an saja mereka masih terbata, apalagi menghafalnya), dan setelah itu pekerjaan berjalan seperti halnya orang lain, di sore hari, anak-anak diikutkan "kuliah tambahan" di meunasah, untuk memperbaiki bacaan sholat dan Qur'annya (wahai, seberapa banyak kita "mereview" bacaan sholat kita sudah benar atau belum, apalagi menghayati apa yg kita baca? Bahkan Delisa saja mulai menghafal do'a iftitah dg memahami bahwa kita ini HIDUP dulu baru MATI - wamahyaya wamamati).

Keimanan dari kecil, menyelamatkan Delisa dari keputusasaan akan rahmat Alloh, pun dalam harapan tipis untuk hidup setelah diterjang gelombang tsunami dan ditinggal hampir seluruh orang dalam keluarganya, kecuali sang bapak, yg sedang melaut di Kanada.

Yang saya sayangkan dari buku ini adalah redaksi doa-doa dalam hafalan sholat yg dilantunkan Delisa :
  1. Hal 13 : Doa Istiftah : "... wama yahya wama mati..." padahal setahu saya "...wamah yaya wamamati..."
  2. Hal 22 : Doa Sujud : "Subhanallah rabbiyal a'la" padahal setahu saya "Subhana rabbiyal a'la"
  3. Hal 39 : Doa duduk di antara dua sujud : "Rabbil firli...." padahal setahu saya "Rabbigh firli..."
Hal tersebut sudah saya konfirm langsung pada penulisnya via email, apakah memang ada salah edit, atau memang salah tulis, atau memang disesuaikan dengan kekanakkan Delisa, atau sebab lain. Jawabannya seperti berikut :

"Astagfirullah, salah tulis, ya? Waktu mau naik cetak pertama kali sy sudah minta teman buat edit bagian latin bahasa arabnya. Mungkin yg ini terlewat; Nanti insya Allah sy cek lagi; tentu saja alasannya bukan karena mengikuti hafalan Delisa yg masih kecil. Terima kasih banyak ya sudah diingatkan. "